Pages

Senin, 19 Maret 2012

Cerpen (si jutek dan si loper koran)

Gua ada cerpen lag nih, walaupun ini bukan karya gua sendiri (dasar lu pis kaga ada kreatif nya sama sekali bisa nya cuma co-past doang -__-) hehe XD, langsung disimak aja deh nih cerpenya :))

Si Jutek dan Si Loper Koran
Lukman Hakim

Dia, masih sepeti dulu kebiasaannya. Duduk di teras rumah dengan secangkir teh manis dan kue-kue kering buatannya di atas meja. Menikmati semilir angin sore yang menusuk lembut ke kulitnya.. Asyik sepertinya, tapi kemudian senyum yang hadir sekarang tidak tampak seperti dulu, senyum lepas dari seorang gadis berkerudung ini.
******
Waktu zaman SMA dulu, tiap pagi si loper koran selalu setia mengantarkan koran ke rumah Dia, tak pernah absen seharipun, termasuk ke rumah si Dia. Tujuan si loper hanya satu, disambut dengan senyum manis setiap mengantarkan koran-koran itu. Tapi sepertinya tidak ia dapatkan dari si Dia ini. Setiap diberikan koran harian itu, hanya ketus yang didapatkan.
“Pagi.. Semoga korannya bisa menambah wawasan ya..” kata si loper. Itulah kalimat  rutin yang diucapkannya. Kemudian ia tersenyum.
Beberapa saat si loper masih berdiri di depan Dia. Mungkin masih menunggu Dia membalas kalimatnya tadi.
“Apa lagi? Tipnya belum ya?” kata Dia, ketus.
“Oh bukan. Saya…”
“Oh, yaudah. Makasih ya..” kata Dia. Kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.
Tidak pernah sebelumnya si loper mendapat balasan seperti itu. Ia tidak pernah berpikir sesuatu yang aneh untuk mendapatkan balasan dari para pelanggan korannya, ini yang pertama kali. Namun, ia mencoba menerima dengan ikhlas. Toh, ia sudah melakukan yang terbaik. Tak lama, ia pun berlalu ke rumah pelanggan selanjutnya untuk mengantarkan koran selanjutnya.

Dia pun tersenyum, mengingat masa lalunya yang unik. Dia sudah membuat seseorang yang bertugas sangat mulia untuk mengantarkan kertas-kertas ilmu kepada setiap orang menjadi hancur akan sikapnya. Sesekali ia tertawa kecil memandang ke halaman rumahnya, mengingat tingkah aneh si loper koran dan kata-katanya tiap pagi yang kedengarannya sangat norak. Tapi Dia rindu akan senyum manis dengan gigi taring yang agak keluar punya si loper koran itu. Dia kembali menyeruput tehnya tadi, hangat..
*****
Hari-hari yang Dia jalani seperti layaknya anak SMA lainnya. Pergi ke sekolah, belajar, kumpul dengan teman-temannya, pulang, bantu ibunya yang berjualan nasi di depan rumahnya, belajar malam hari, dan yang utama sholat wajibnya, begitu seterusnya. Tetapi, tidak pernah Dia mengeluh. Dengan ikhlas DIa jalani semuanya. Namun, pagi itu berbeda.
Si loper koran seperti biasa mengantarkan korannya tiap pagi, kata-kata penyemangatnya untuk tiap orang, dan senyum khasnya. Yang paling penting, balasan si Dia yang selalu ketus dan si loper selalu menerima dengan ikhlas.
Saat Dia mengambil korannya dan mengantarkan ke meja tamunya, tiba-tiba sebuah amplop putih jatuh dari dalam gulungan koran itu.
“Apaan nih?surat tagihan listrik?kok si loper enggak bilang ya?” Kata Dia pelan, dan meraih surat itu dari atas lantai.


Dia pun kaget saat melihat tulisan dari amplop surat itu. Disana tertulis, “ Untuk kau yang selalu ketus padaku”. Secepat mungkin Dia masuk ke dalam rumah dan bergegas pergi ke sekolah. Dia ingin mengabarkan secepatnya tentang surat itu ke kawan baiknya, Anto.

Sesampainya di sekolah, Dia langsung mencari Anto yang ternyata sudah datang lebih dulu ke sekolah. Kemudian Dia menghampiri Anto dan menunjukkan apa yang didapatnya tadi pagi di rumahnya.
“To, lo liat ini!” seru dia sambil meletakkan amplop itu di atas meja Anto.
“Apa sih? Lo kenapa buru-buru gitu?” tanya Anto dan meraih amplop yang ada.
“Jadi gini. Kan tiap pagi loper koran  nganterin koran ke rumah gue. Tiap pagi dia selalu ngomong yang aneh menurut gue, maksudnya mungkin kata-kata penyemangat buat gue. Tapi gue enggak pernah nanggepin dia.”
“Terus?” tanya Anto sambil meraba-raba amplop itu.
“Tadi pagi dia dateng lagi. Dan setelah dia pergi, amplop ini ada di dalem korannya. Gue pikir apa, eh ternyata..”
Anto melihat sekeliling amplop tersebut, kemudian ia menemukan satu kalimat dengan tulisan seseorang yang mungkin tidak pernah lulus SD, Anto pun agak sulit membacanya. Tak lama, ia pun tertawa kencang.
“Hahahaha.. Ciee dapet penggemar loper koran!” Ejek Anto, sambil membuka amplop itu dan meraih sepucuk surat didalamnya. Anto pun membaca surat itu,
“Kau yang selalu acuh kepadaku. Kau yang selalu hadir bagai mentari yang menerangi bumi ini. Kau yang..”
Dia pun meraih surat itu, “ Lo apa-apaan sih, To? Bukannya bantuin gue malah lancang ngebuka suratnya!”
“Abis lucu sih, engga nyangka gue ternyata ada yang tertarik sama orang jutek kayak lo!Haha” ledek Anto, dan merebut kembali surat yang dipegang Dia.
“Lo apa sih? Gue takut nih. Siapa tau dia penculik kelas kakap yang mau nyulik gadis-gadis dan dijual ke luar negeri!” jelas Dia, dengan wajah yang ketakutan.
“Pikiran lo terlalu jauh. Siapa tau dia emang tulus cinta sama lo. Buktinya isi surat ini yang emang bener-bener tulus dia. Haha”
“Lo kok malah ngeledek si? Siapa tau aja kan? Sekarang banyak kasus penjualan manusia ke luar negeri buat jadi yang enggak bener. Motifnya banyak, siapa tau aja ini salah satunya!” seru Dia, dengan raut wajah yang tambah panik, ditambah kesal karena Anto yang malah mengejeknya.
“Norak lo! Yaudah gini aja. Besok pas dia nganterin koran lagi ke rumah lo, tanyain ke dia maksudnya apa dia ngasih surat ini ke lo!”
“Serius lo? Gue takut ah.”
“Daripada lo mikir yang aneh-aneh, mending lo tanya ke dia..” ucap Anto, sambil melipat-lipat surat tadi menjadi sebuah kapal terbang mainan.
“Yaudah deh, gue coba tanya ke dia besok. Sini suratnya!” seru Dia, dan mengambil surat itu lagi.



Esok paginya, Dia sudah siap di depan rumahnya menunggu kehadiran si loper koran itu. Tapi tidak seperti biasanya, si loper tidak datang. Dia berpikir mungkin si loper kesiangan. Dia tidak mungkin menunggu si loper sampai siang, karena akan terlambat sampai ke sekolah. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke sekolah.
Selama di sekolah, Dia terus melihat surat itu. Perasaannya bercampur, ia takut akan prediksinya yang dikatakan ke Anto tentang motif si loper koran itu, dan ia pun bingung karena tidak seperti biasanya si loper tidak datang pagi tadi. Dia membaca surat yang sudah dilipat-lipat Anto itu, ia pun tersenyum kecil. Dia tersenyum akan isi puisi singkat yang ditulis didalamnya. Puisinya agak norak memang, tetapi Dia merasakan sedikit rasa yang disampaikan si loper ke dalam suratnya itu.
“Ciee, suratnya dipegangin aja. Engga bakal ilang kok! Hehe..” ledek Anto, yang menghampiri Dia di perpustakaan saat itu.
“Apa sih lo? Gue kan emang belom baca. Lucu aja isi suratnya.. Eh, tadi pagi dia enggak dateng, To.” ucap Dia, pelan.
“Siapa? Si loper?Haha dia sakit hati kali sama lo dijutekin mulu!”
“Ssstt, pelan-pelan, To. Ini di perpustakaan.”kata Dia, sambil mengangkat telunjuknya ke depan mulutnya,”Gue bingung aja, tumben dia engga dateng. Biasanya engga pernah absen sehari juga.” Kata Dia, menjelaskan.
“Kenapa ya?”
“Enggak tau deh, To.”
*****
Sudah seminggu si loper koran tidak mengantarkan koran-korannya lagi. Dia pun makin penasaran dengan maksud si loper. Dan mungkin Dia juga sudah luluh dengan puisi yang ditulis didalamnya, dengan pulpen hitam dan tulisan yang hampir tidak bisa dibaca. Dia jatuh cinta dengan si loper..
“Kriiing…Kriiinggg” suara lonceng sepeda kumbang terdengar dari kejauhan., suara yang sama dengan sepeda si loper koran. Dia pun berlari kedepan rumah dan menanti si loper mendekat  dan memberikan koran seperti biasa. Dia pun berharap banyak.
“Mba, ini korannya.” kata si loper koran
Dia meraih koran dari tangan si loper dan memandang mukanya dengan perasaan aneh. Ternyata itu bukan si loper yang biasanya.
“Pak, loper koran yang biasanya kemana?” tanya Dia.
“Yang mana, Mba?”
“Yang itu, Pak. Yang rambutnya agak keriting, badannya setinggi Bapak. Ada tahi lalat di bawah mulutnya” jelas Dia, sambil menunjuk-nunjuk ke bawah mulutnya.
“Oh, yang itu. Sudah lama enggak masuk kerja, Mba. Bapak dengar dia merantau ke Kalimantan.” jelas si Bapak dengan logat Tegalnya yang sangat kental.
“Oh gitu ya, Pak? Makasih deh pak.” ucap Dia, lesu. Dan ia berjalan ke dalam rumahnya dengan penuh keputusasaan.
*****
Raut mukanya pun berubah dari cerah menjadi suram. Tak lama Dia pun menangis sejadinya. Semua karena penyesalannya dulu, saat dia menyia-nyiakan si loper koran itu. Pikirnya, coba saja kalau Dia bersikap baik terhadap si loper itu, mungkin tidak akan Dia alami hidup menyakitkan seperti ini. Sekarang Dia menjadi istri keempat dari seorang juragan tanah di kampungnya. Semua terjadi setahun lalu..
Orang tua Dia tidak mampu membayar hutang-hutangnya ke Sang Juragan. Awalnya Ibu dan Dia tidak mengetahui asal hutang-hutang tersebut. Namun, Sang Juragan menjelaskan bahwa si Bapak meminjam uang darinya untuk membayar hutang judinya di kampung mereka. Ibu dan Dia lantas tidak percaya dengan hal tersebut. Mereka berpikir kalau Bapak tidak pernah melakukan kemaksiatan seperti itu. Tapi, hal itu benar. Si Bapak mengakui hal tersebut.
“kalian mau rumah ini saya sita, atau..” seru Sang Juragan dan menengok ke sekeliling. Akhirnya, pandangannya berhenti ke Dia,” Anak gadis kalian akan kujadikan sebagai istri saya!Haha”
Bapak, Ibu, dan Dia sontak kaget. Dia pun menangis dan berlari keluar. Terlihat si Bapak mengejar anaknya itu.
“Nak, tolong bapak. Kalau rumah ini disita, kita mau tinggal dimana?” seru si Bapak sambil memegang tangan anaknya.
“Jadi bapak rela aku nikah sama dia? Dimana perasaan bapak? Aku masih punya mimpi untuk jadi seorang guru! Sama saja bapak menghancurkan mimpiku!”
“Tapi mau bagaimana lagi? Bapak tidak punya pilihan!”
Perdebatan mereka berlangsung beberapa saat. Akhirnya, Dia pun kalah dan mau dengan terpaksa untuk menikah dengan si Juragan, pernikahan pun terjadi.
*****
Dan tangisnya pun sudah mereda. Raut wajahnya kembali seperti semula, datar. Dia hanya bisa meratapi jalan hidupnya itu. Dia harus menerima walaupun tidak pernah ia mendapatkan bahagia dengan suaminya. Setiap hari hanya bentakan, dan perlakuan kasar dari suaminya. Nampaknya Dia lebih cocok disebut pembantu daripada seorang istri.
Untuk keduakalinya ia menyeruput tehnya. Dan masih ia genggam sepucuk surat, yang ia terima dari si loper koran. Sudah lusuh kertasnya, tapi tidak akan pernah habis rasa yang diberikan si loper di dalam surat itu. Mungkin itu satu-satunya yang bisa jadi penghibur sehari-harinya.
“Ya Allah, Andai aku dapat memutar waktu. Dan aku dapat bertemu kembali dengannya..” ucap Dia, lemah. Dan senyum kecilnya nampak lagi saat ia baca suratnya sekali lagi.



Kau yang selalu acuh kepadaku..
Kau yang selalu hadir bagai mentari yang menerangi bumi ini..
Kau yang manis dibalut kerudung cantik di kepalamu..
Kau yang indah dengan senyum ketusmu tiap pagi..
Tapi,
Aku tidak pernah ragu..
Aku tidak akan pernah menyerah..
Agar kau bisa tersenyum ikhlas kepadaku..

                               Aku, si Loper Koran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer